18.09

Koper Orang Lain

Anda menemukan sebuah koper di teras stasiun kereta. Mungkinkah koper itu sengaja dibuang? Mungkin koper itu begitu berharga bagi pemiliknya? Mungkin pemiliknya ada di dalam kereta yang barusan berangkat? Anda memeriksa isi koper itu, ternyata banyak dokumen berharga dan bahkan sejumlah uang yang cukup besar.

Karena Anda sendiri tidak membawa banyak bawaan, Anda dapat membawa koper itu dan menyerahkannya di kantor kereta di stasiun berikutnya. Anda putuskan untuk membawa koper itu, karena Anda tidak yakin dengan kejujuran orang lain yang menemukannya. Anda memilih untuk menanggung beban menemukan pemilik koper tersebut. Anda merasa bersalah jika tidak melakukannya.

Kala Anda menarik koper itu ke dalam kereta yang penuh sesak, ternyata koper yang cukup besar dan berat itu menyita banyak tempat. Bagaimanapun juga, Anda merasa koper itu begitu penting, karena itu barang orang lain yang ada pada Anda. Ketika Anda pergi ke toilet pun, Anda merasa perlu membawanya serta. Lama-kelamaan, karena makin merepotkan, koper itu jadi terasa semakin berat. Mulai timbul pemikiran untuk menyerah saja, meninggalkan saja koper itu, masa bodoh dengan "nasib" koper itu, toh sebenarnya itu bukan tanggung jawab Anda. Namun, jika bukan Anda, lalu siapa? Bukankah tindakan kebajikan ini sudah separuh jalan?

Ketika Anda kembali berjuang membawa koper itu, terbersit pemikiran bahwa jangan-jangan koper itu memang sengaja dibuang oleh pemiliknya. Akankah sang pemilik menghargai dan memberi hadiah? Pikiran jadi makin tidak keruan.

Tiba-tiba, Anda terhenyak, seperti halnya dengan apa pun yang Anda pilih untuk lakukan, Anda tidak akan pernah bisa yakin 100% akan hasilnya. Kenyataannya, hidup Anda pada hari ini sama sekali berbeda dengan apa yang Anda bayangkan tahun lalu. Anda hanya bisa yakin dengan satu hal, yaitu niat Anda, apa yang mendasari Anda untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Dalam kasus koper itu, semata-mata welas asihlah yang mendorong Anda untuk mengambil alih beban orang lain.

Anda sadar bahwa tindakan Anda tidak sepenuhnya tanpa syarat, karena Anda berharap setidaknya mendapat ucapan terima kasih atau ungkapan penghargaan lainnya. Hasrat yang bercampur dengan ketidakpastian ini membuat koper itu terasa makin berat saja. Sikap "pembedaan", bahwa Anda membawa barang "orang lain", membuat Anda gerah dan tidak rela penuh, sekalipun Anda merasa wajib membawanya. Jika Anda sanggup mengikhlasinya, kopor itu jadi terasa ringan. Anda hanya perlu berdiri di sepatu sang pemilik dan membayangkan keresahannya. Apakah Anda tega untuk tidak melakukan suatu pertolongan yang Anda sanggup lakukan?

Anda menyadari bahwa karena Anda telah memilih untuk membawanya, Anda harus membawanya dengan bahagia. Hasil akhirnya bagaimana tidak terlalu penting. Anda bisa memilih untuk menikmati kebajikan tindakan Anda dalam proses, saat ini juga, alih-alih memusatkan pikiran akan hasil. Itulah sebabnya, tindakan baik atau jasa diukur dengan niat luhur kita, bukan hasilnya.

Berhubung satu-satunya hal yang bisa kita yakini adalah niat baik kita, kebajikan welas asih membawa sukacita tersendiri dan berbuah seketika. Jika kita bisa memetik buahnya saat ini juga, kenapa menunda kebahagiaan kita? Semakin kita mendalami hal ini, semakin siaplah kita untuk mengambil tugas menolong orang lain. Tindakan menolong tanpa syarat tidak akan menjadi beban, malahan jadi sumber kebahagiaan. Dalam melatih kemurahan hati, semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita menerima. Pengorbanan sejati adalah pengorbanan yang tidak terasa seperti pengorbanan.

---

Kejadian diatas mungkin sering kita temui dalam bentuk yang berbeda, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berorganisasi. Pada awalnya, kita melakukan sesuatu dengan niat yang luhur, tanpa pamrih ataupun pikiran-pikiran buruk lainnya. Namun ditengah-tengah perjalanan, kita menemui masalah, halangan, rintangan, yang kemudian membuat kita merasa susah. Kesusahan itu menimbulkan keragu-raguan di dalam hati kecil kita. Ragu akan hal yang sedang kita lakukan, ragu apakah itu akan membawa kebaikan bagi diri kita. Karena pada kenyataannya perbuatan itu saat ini menimbulkan kesulitan bagi kita.

Disaat sulit seperti inilah kita harus ingat tujuan awal kita. Ingat pada ketulusan hati kita saat itu. Meneguhkan hati untuk tetap memilih hal yang benar, dan mengubah kesulitan yang disebabkan oleh faktor luar seperti tugas organisasi, menjadi beban pribadi yang harus dijalani. Kita hanya perlu mengikhlasinya. Menanggung beban itu dengan ikhlas, dan ia akan terasa ringan. Dan saat kita berhasil melewati rintangan itu serta menyelesaikan tujuan awal kita, kita akan maju, menjadi orang yang menang atas diri sendiri. Saat itu kita akan berbahagia, dan menjalani hidup untuk memberi, karena memberi membawa kebahagiaan bagi kita.

0 komentar: